Sabtu, 23 Juni 2012

Daseng

Themmy Aditya Nugraha

 Isyarat merupakan isyarat dari sesuatu yang lain -Kincaid & Scharmm

Ledakan teoritik menjadi kepingan praktik berawal pada September 2008. Kepala-kepala yang gelisah melahirkan tindakan penolakan. Sebabnya, Sario-Tumpaan menjadi target utama reklamasi pantai. Mungkin pula menjadi awal adanya ketidak-sepakatan pada keinginan penguasa.

Saat itu, konflik bukan berbentuk percik-percik gumam, pertarungan ide tak lagi mendapat tempat khusus. Tindakan yang lebih nyata dirasa menjadi satu-satunya jalan.


Perbedaan interpretasi pemerintah dan pengusaha, mungkin juga mayoritas penduduk kota, dengan interpretasi kelompok nelayan tak mampu mendatangkan kata sepakat. Sebagian menganggap reklamasi dapat mendatangkan lapangan pekerjaan dan sisanya menilai terbalik. Nelayan terancam menjadi pengangguran atau melakukan pekerjaan yang bukan keahliannya. Tentu bukan hal mudah menggantikan dayung dengan pentungan satpam, atau bekerja untuk diri sendiri digantikan dengan mengabdi. Nelayan tentu lebih tahu tentang itu. Lepas dari itu, masih saja ada kelompok yang enggan di"genocide".

"Karena," tulis Blumer, "interaksi sosial menentukan pemaknaan seseorang akan realitas sosial."
Pendapat Blumer nampaknya menjadi sketsa mayoritas yang menganggap enteng reklamasi pantai. Mereka yang tak pernah menjalin kedekatan dengan pantai dan laut. Mereka yang datang ke pantai hanya sekedar berfoto atau mandi untuk mengisi akhir pekan. Mereka yang hanya bisa membeli ikan di pasar dan swalayan tanpa memahami proses bertarung melawan ombak dan badai untuk memburu ikan. Ya, mungkin saja.

Kenyataanntya, sejak 1980'an, di era sentralistis, mulut yang berbeda pendapat dibungkam erat-erat, pendapat penguasa harus diyakini sebagai kebenaran multak yang harus juga dituruti, dan itu berlanjut hingga bosan mendatangi otak individu-individu yang memilih membangkang. Dan runtuhlah keyakinan lama bersama dengan sifat menurutnya. Pembangunan tak boleh lagi menggusur hidup nelayan. Pembangunan jalan Boulevard pantas menjadi pelajaran - tentang pasrah yang berbuntut penggusuran.

Tapi, nelayan tetaplah kelompok kecil di antara sekian penduduk Manado, dan sebagian kecil di antaranya yang melakukan tindakan nyata dalam menolak. Mereka terpecah. Ragu menjadikan sebagian nelayan menyingkirkan perahu dari tempatnya. Superioritas penguasa membuat hati semakin kecil serta menilai tak ada kemungkinan lain. Sebagian masih percaya itu. Mungkin fakta di mata telah luput menatap kemungkinan yang sebenarnya telah menunggu.

Kelompok yang tetap yakin melawan, menang ataupun kalah, memikul maknanya tentang pantai dan laut. Isyarat pemerintah daerah yang mulai menjauh dari pemahaman nelayan membuat mereka tak lagi percaya pada sistem perwakilan. Nelayan mulai bicara atas nama nelayan. Mereka mewakili diri mereka masing-masing dalam tindakan dan dalam apapun yang mereka inginkan.

Tentu saja, tulisan ini akan lebih banyak memotret mereka yang menolak menurut, sungguh tak menarik mencatat terlalu banyak sikap pasrah yang menganggap hidup sudah terbentuk begitu adanya, karena manusia harus menciptakan dunianya sendiri.

Jalan buntu diplomasi menjadi lampu merah untuk tidak meneruskannya. Pemerintah daerah dianggap gagal dan tak layak menjadi wadah penampung suara, hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diundang menjadi wasit dalam pertarungan ini.

Meski begitu, gesekan fisik tak bisa diredam lagi. Kali ini mereka tak lagi meminta ataupun menuntut. Merebut apa yang menjadi hak dan yang telah dicuri seakan menjadi hal yang pertama kali terlintas di kepala. Tak mungkin lagi menerima tawaran lain. Merebut atau tidak sama sekali.

Daseng akhirnya dibangun juga, dan menunjukkan kemungkinan yang beberapa waktu lamanya tersembunyi di balik fakta.
Rignolda Jamaludin - Oda - (45) merupakan bagian kecil dari kumpulan, yang juga kecil, menyatakan ketidaksepakatan melalui tindakan, seakan menyatakan bahwa kuantitas tidak bisa dijadikan indikator perubahan. Persepsi mengenai pastinya argumen penguasa tidak boleh ditelan mentah-mentah. Ia yakin bahwa interupsi perlu dilakukan, dan menang-kalah hanyalah hasil akhir dari proses.

Membangun Daseng, bagi Oda, meninggalkan beberapa kenangan yang masih rapat dalam ingatan. Ia merasakan kekuatan besar yang lama disimpan, atau merunduk takut karena begitu lama kekuasaan mengangkangi hidup masyarakat.

"Pemerintah harusnya bertugas menjalankan dan mengawasi peraturan. Tapi mereka bukanlah peraturan itu sendiri," ucap Oda di Daseng, pada malam yang penuh badai (02/05/2012).

Daseng lantas menjadi alat menyelamatkan sebagian laut dan pantai yang belum sempat ditimbun batu-batu reklamasi. Tapi Daseng hanya simbol, nelayanlah yang sebenarnya herois - bagi diri masing-masing.

Secara personal, Oda, merasa bangga menjadi bagian sejarah. Ia menyaksikan totalitas perjuangan di balik kekurangan kelompok-kelompok nelayan. Tak ada sepicis pun duit pembangunan Daseng mengalir dari dompet pemerintah, solidaritas nelayan menjadi modalnya.

Mungkin itulah sebabnya tampilan Daseng yang sederhana - beratap rumbia, tanpa pintu dan jendela - menggambarkan kesederhanaan nelayan di tengah kesombongan pembangunan. Ia menjadi wujud sederhana tapi tegar dan mengambil sikap terhadap rakus jaman.

"Dan," kata Oda sambil memungut kenangan yang memadati kepala, "kalau nelayan bersatu, nelayan pasti kuat dan tak mungkin spiritnya dibunuh."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar