Rabu, 20 Juni 2012

Ode Genit Dari Waktu Yang Masih Muda

Dear PASIR,


Surat kecil ini memang akan terlihat norak, tak penting atau bahkan terlalu hiperbolis. Ya, itu bisa saja. Mengingat umur perjumpaan kita baru saja menabrak hancur batas 60 hari. Untuk ukuran sebuah relasi, secara umur pasti masih banyak yang masih saling disembunyikan sehingga masing-masing pihak memang butuh terus berproses saling mengenal dan memahami. Tapi keinginan mengawetkan setiap peristiwa yang lewat adalah salah satu picu mengapa surat ini mengemuka.


* * *


Melakukan sesuatu yang kecil atau bahkan memposisikan diri sebagai bagian dari sebuah susunan namun tak dianggap, tak penting, tak terlihat atau tak substantif memang selalu lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Di tengah dunia yang menginginkan tampilan spektakular dan meriah, praktik dalam keheningan tentu saja seperti titik kontras yang dalam beberapa fase belum mengganggu. Hingga kemudian jika titik itu menyebar secara sporadis karena resonansi.


Seperti nyala api di ujung batangan korek api. Tidak akan berarti apapun jika hanya menghanguskan batang kayu itu sendiri. Ia akan melahirkan makna ketika benda lain ikut terbakar dan menghasilkan formasi yang benar-benar baru. Kehancuran yang membuka pintu-pintu lain dari kemungkinan.


Secara personal, sungguh begitu mudah bagiku meluapkan amarah dengan cara memungut batu atau batangan kayu dan mengarahkannya seperti anak panah, telak menghujam musuh. Namun perkara ini berbalik menjadi berlipat rumitnya ketika kemarahan dan dendam ini mesti diawetkan, direformasi tanpa merubah esensi untuk kemudian disebar menjadi benih-benih resistensi. Bukan menjadikannya sebagai cairan yang mengkontaminasi dan merubah total warni-warna, karena sebenarnya praktik itu justru lebih instan. Seperti kebanyakan makanan yang kita konsumsi hari ini. Mengambil jalan pintas, mengingkari substansi proses terasa begitu mudah dikerjakan daripada mesti berlelah meniti satu persatu tahapan setapak jalan yang semakin menit berlalu, semakin terasa sulit.


Aku masih mengingat dengan jelas malam ketika uluran tangan itu mengajak pilihan, ketidakinginan, untung-rugi, benturan teoritik dan rupa lain bertabrakan tanpa rima di kepala. Rasa asing terhadap wajah-wajah kalian, keraguan akan ikatan komitmen juga disertai trauma akan repetisi serta periodeisasi dalam praktik seperti ini menjadi momok menakutkan. Itu mengapa pada awalnya ada jarak yang sengaja dijaga sebagai tapal batas antara kalian semua dan diriku. Sebelum akhirnya tawa, cemberut, keseriusan, sindiran serta candaan demi candaan mencairkan kebekuan itu. Tidak langsung memang. Perlahan tapi pasti. Entahlah. Terdengar seperti ungkapan iklan di TV, klise.


Pagi itu tak sempurna lagi di dalam ingat, sudah mulai samar. Tapi ada beberapa detail yang masih jelas tersimpan. Wajah-wajah ceria anak-anak, teriakan chaotic dari pita-pita suara yang belum sempurna, hingga bunyi racau pancaran gembira dari wajah-wajah oval yang belum semua sempat ku hafal namanya telah berhasil membuat ada cinta dan amarah yang bertemu di titik persilangan. Amorfati mungkin. Atau bilang saja ini cinta pada kesan kedua. Mungkin ketiga. Tak lagi ingat. Lagipula tak terlalu penting bagiku. Tak tahu bagi kalian.


Sebagai seseorang yang pernah berada di fase sulit tentang membuka kemungkinan di tengah padatnya kepungan ketidakmungkinan, aku jujur merasa tak sia-sia telah menghabiskan waktu bersama kalian selama dua bulan terakhir. Terminologi seperti inisiatif personal, otonomi penuh, komitmen, konsensus, kesadaran yang terus diasah, hingga persoalan yang terkesan remeh namun penting telah membuat diriku merasa berevolusi secara psikologis. Kembali melampaui ketakutan dan trauma-trauma, menghimpunnya kemudian melepaskannya dalam bentuk energi yang terlepas dari dikotomi biner positif-negatif, benar-salah atau hal lain sejenis.


Walau hingga kini, masih ada keraguan yang terus kupelihara sebagai lentera untuk menjaga agar langkah tak menjadi takabur. Karena di masa lalu, aku pernah menemukan bagaimana sikap jumawa pada akhirnya membawa individu-individu yang secara kapasitas tak diragukan menjadi pengecut menghadapi konsekuensi dari pilihan yang telah diambil. Meski memang, menjadi berani bukan berarti mesti melupakan bahwa manusia juga harus tetap memiliki ketakutan. Hidup memang bukan soal mengambil satu sisi dan menjadikannya sebagai yang utama, tapi soal bagaimana merengkuh semua sisi sekaligus.


Terima kasih untuk begitu banyak pelajaran berharga yang telah kita lewati bersama. Tentang bagaimana menegasikan uang, memaksimalkan potensi di dalam diri untuk bertahan hidup, mendistribusikan pengetahuan, membagi masalah tanpa harus takut kelihatan menjadi lemah atau melankolik atau bagaimana memilih waktu untuk tenggelam total dalam pesta dan mana saat menjadi akuratif dalam menghadapi perang fisik yang ada di depan mata.


Memilih menuliskan surat pendek yang genit ini bukan berarti bahwa pertemuan kita sudah berada di garis finish. Sebaliknya, ini adalah momen yang ku pilih menjadi penanda tentang waktu yang telah lewat dan yang kini sedang berlangsung. Biar huruf-huruf ini nanti yang menceritakan tentang semua kita yang pernah dan masih ada di Daseng ini. Tentang perayaan tanpa henti atas semua perjumpaan dan perpisahan, semua emosi hingga semua menu makanan yang selalu saja penuh protes namun tetap saja ludes disantap.


yang merasa tersanjung atas semua ini
A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar