Surat kecil ini memang akan terlihat norak, tak
penting atau bahkan terlalu hiperbolis. Ya, itu bisa saja. Mengingat umur
perjumpaan kita baru saja menabrak hancur batas 60 hari. Untuk ukuran sebuah relasi,
secara umur pasti masih banyak yang masih saling disembunyikan sehingga
masing-masing pihak memang butuh terus berproses saling mengenal dan memahami.
Tapi keinginan mengawetkan setiap peristiwa yang lewat adalah salah satu picu
mengapa surat ini mengemuka.
* * *
Melakukan sesuatu yang kecil atau bahkan memposisikan diri sebagai bagian dari sebuah susunan namun tak dianggap, tak penting, tak terlihat atau tak substantif memang selalu lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Di tengah dunia yang menginginkan tampilan spektakular dan meriah, praktik dalam keheningan tentu saja seperti titik kontras yang dalam beberapa fase belum mengganggu. Hingga kemudian jika titik itu menyebar secara sporadis karena resonansi.
Seperti nyala api di ujung batangan korek api.
Tidak akan berarti apapun jika hanya menghanguskan batang kayu itu sendiri. Ia
akan melahirkan makna ketika benda lain ikut terbakar dan menghasilkan formasi
yang benar-benar baru. Kehancuran yang membuka pintu-pintu lain dari
kemungkinan.
Secara personal, sungguh begitu mudah bagiku
meluapkan amarah dengan cara memungut batu atau batangan kayu dan
mengarahkannya seperti anak panah, telak menghujam musuh. Namun perkara ini
berbalik menjadi berlipat rumitnya ketika kemarahan dan dendam ini mesti diawetkan,
direformasi tanpa merubah esensi untuk kemudian disebar menjadi benih-benih
resistensi. Bukan menjadikannya sebagai cairan yang mengkontaminasi dan merubah
total warni-warna, karena sebenarnya praktik itu justru lebih instan. Seperti
kebanyakan makanan yang kita konsumsi hari ini. Mengambil jalan pintas,
mengingkari substansi proses terasa begitu mudah dikerjakan daripada mesti
berlelah meniti satu persatu tahapan setapak jalan yang semakin menit berlalu,
semakin terasa sulit.
Aku masih mengingat dengan jelas malam ketika
uluran tangan itu mengajak pilihan, ketidakinginan, untung-rugi, benturan
teoritik dan rupa lain bertabrakan tanpa rima di kepala. Rasa asing terhadap
wajah-wajah kalian, keraguan akan ikatan komitmen juga disertai trauma akan repetisi
serta periodeisasi dalam praktik seperti ini menjadi momok menakutkan. Itu
mengapa pada awalnya ada jarak yang sengaja dijaga sebagai tapal batas antara
kalian semua dan diriku. Sebelum akhirnya tawa, cemberut, keseriusan, sindiran
serta candaan demi candaan mencairkan kebekuan itu. Tidak langsung memang.
Perlahan tapi pasti. Entahlah. Terdengar seperti ungkapan iklan di TV, klise.
Pagi itu tak sempurna lagi di dalam ingat, sudah
mulai samar. Tapi ada beberapa detail yang masih jelas tersimpan. Wajah-wajah
ceria anak-anak, teriakan chaotic dari
pita-pita suara yang belum sempurna, hingga bunyi racau pancaran gembira dari
wajah-wajah oval yang belum semua sempat ku hafal namanya telah berhasil
membuat ada cinta dan amarah yang bertemu di titik persilangan. Amorfati
mungkin. Atau bilang saja ini cinta pada kesan kedua. Mungkin ketiga. Tak lagi
ingat. Lagipula tak terlalu penting bagiku. Tak tahu bagi kalian.
Sebagai seseorang yang pernah berada di fase sulit
tentang membuka kemungkinan di tengah padatnya kepungan ketidakmungkinan, aku
jujur merasa tak sia-sia telah menghabiskan waktu bersama kalian selama dua
bulan terakhir. Terminologi seperti inisiatif personal, otonomi penuh,
komitmen, konsensus, kesadaran yang terus diasah, hingga persoalan yang terkesan
remeh namun penting telah membuat diriku merasa berevolusi secara psikologis.
Kembali melampaui ketakutan dan trauma-trauma, menghimpunnya kemudian
melepaskannya dalam bentuk energi yang terlepas dari dikotomi biner
positif-negatif, benar-salah atau hal lain sejenis.
Walau hingga kini, masih ada keraguan yang terus
kupelihara sebagai lentera untuk menjaga agar langkah tak menjadi takabur.
Karena di masa lalu, aku pernah menemukan bagaimana sikap jumawa pada akhirnya
membawa individu-individu yang secara kapasitas tak diragukan menjadi pengecut
menghadapi konsekuensi dari pilihan yang telah diambil. Meski memang, menjadi
berani bukan berarti mesti melupakan bahwa manusia juga harus tetap memiliki
ketakutan. Hidup memang bukan soal mengambil satu sisi dan menjadikannya
sebagai yang utama, tapi soal bagaimana merengkuh semua sisi sekaligus.
Terima kasih untuk begitu banyak pelajaran
berharga yang telah kita lewati bersama. Tentang bagaimana menegasikan uang,
memaksimalkan potensi di dalam diri untuk bertahan hidup, mendistribusikan
pengetahuan, membagi masalah tanpa harus takut kelihatan menjadi lemah atau
melankolik atau bagaimana memilih waktu untuk tenggelam total dalam pesta dan
mana saat menjadi akuratif dalam menghadapi perang fisik yang ada di depan
mata.
Memilih menuliskan surat pendek yang genit ini
bukan berarti bahwa pertemuan kita sudah berada di garis finish. Sebaliknya,
ini adalah momen yang ku pilih menjadi penanda tentang waktu yang telah lewat
dan yang kini sedang berlangsung. Biar huruf-huruf ini nanti yang menceritakan
tentang semua kita yang pernah dan masih ada di Daseng ini. Tentang perayaan
tanpa henti atas semua perjumpaan dan perpisahan, semua emosi hingga semua menu
makanan yang selalu saja penuh protes namun tetap saja ludes disantap.
yang merasa tersanjung atas
semua ini
A
A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar